Sabtu, 15 Oktober 2011

MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH SOSIAL DAN EKONOMI DI DESA LOJEJER KECAMATAN WULUHAN


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pertanian adalah suatu jenis produksi yang berlandaskan dari pertumbuhan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian rakyat, sedangkan dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan, peternakan dan perikanan. Orang atau kumpulan orang-orang yang mengusahakan dan mengatur agar terjadi pertumbuhan dan pengambilan hasilnya adalah petani atau pengusaha pertanian. Kegiatan produksi adalah suatu usaha atau business dimana hubungan antara biaya dan pendapatan adalah penting                   (Rijanto, dkk, 1995).
Menurut Mustapit (2011), sumberdaya agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5/1960) justru sesuai dengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasukpula tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1ayat 4). “Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupunlaut wilayah Indonesia” (Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruangangkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut…” (Pasal 1 ayat 6). Dengan merujuk pada Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA 1960 itu, dapatlah ditarik kesimpulan perihal jenis-jenis sumberdaya agraria meliputi tanah, perairan, hutan, bahan tambang dan udara.
 Hutan adalah kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) di luar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini secara historis adalah modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal. Kawasan hutan Indonesia selama ini telah banyak dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia. Menurut Subadi (2010), potensi kawasan hutan tersebut, kurang lebih 3 juta hektar terletak di pulau Jawa yang telah dikelola sejak tahun 1892 dan pengelolaanya dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada dibawah Departemen Kehutanan.
Kondisi hutan di Indonesia sekarang telah dan sedang menghadapi tekanan destruktif dari berbagai faktor. Tekanan destruktif itu berasal dari berbagai kekuatan, baik dari tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Tekanan-tekanan itu berdampak kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain. Smith (1992) mengemukakan tujuh faktor yang menjadi sumber tekanan destruktif itu, yaitu (1) pembalakan (logging) komersial, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal; (2) pertambangan, baik yang dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi tradisional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih; (3) transmigrasi, termasuk juga pemukiman kembali penduduk local perambah hutan sekaligus dengan pencetakan areal pertanian menetap; (4) perkebunan dan HTI (timber estate); (5) perladangan berpindah; (6) eksploitasi hasil hutan nonkayu; dan (7) berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar, yang kebanyakan dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata (Gunawan dalam Mustapit, 2011).
Lembaga adalah wadah dimana sekumpulan orang berinisiatif untuk memenuhi kebutuhan bersama, dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tujuan pengembangan LMDH adalah: 1) untuk meningkatkan kemampuan LMDH dalam pengelolaan lembaganya, 2) pengenalan pendekatan partisipatif dalam rangka pengembangan lembaga, 3) memberikan pandangan yang berbeda dan kritis dalam rangka pengembangan lembaga masyarakat, dan 4) memberikan panduan sederhana namun bermutu dalam rangka pengembangan lembaga masyarakat (Awang, 2008).
Model Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDH-BM) memiliki paling sedikit tiga fungsi yaitu, fungsi perlindungan alam untuk kehidupan makhluk hidup dan lingkungannya, fungsi keindahan untuk menopang kehidupan manusia, dan fungsi ekonomi untuk mendukung keberlanjutan dan kemanfaatan sebesar-besarnya untuk masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah model pengelolaan hutan yang dianggap dapat menjanjikan penyelesaian masalah-masalah antara masyarakat dengan pemerintah. Model ini di negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang mendapat tempat terhormat dan dapat terbukti dapat menyebabkan pelestarian lingkungan (Subadi, 2010).
Desa Lojejer merupakan salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Jember. Desa Lojejer memiliki sumberdaya agraria berupa hutan yang dikelola oleh masyarakat sekitar hutan melalui model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Model ini merupakan model pengelolaan hutan yang tidak hanya dilakukan  oleh pemerintah melalui PERHUTANI namun juga melibatkan masyarakat sekitar hutan. Model pengelolaan hutan bersama masyarakat ini ditampung di suatu lembaga yang beranggotakan masyarakat sekitar hutan yang mengelola hutan. Lembaga ini disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). lembaga masyarakat desa hutan yang ada ini menjadi lembaga yang mengatur tata cara pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah
1.      Bagaimana lingkup agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?
2.      Bagaimana kondisi sumberdaya manusia di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?
3.      Bagaimana kondisi sumberdaya alam hutan di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan?

1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
1.        Untuk mengetahui lingkup agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
2.        Untuk mengetahui kondisi sumberdaya manusia di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
3.        Untuk mengetahui kondisi sumberdaya alam hutan di LMDH Mitra Usaha  Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
1.3.2 Manfaat
1.    Sebagai bahan informasi bagi stake holder, pemerintah, maupun swasta dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya agrarian kehutanan.
2.    Sebagai bahan informasi bagai masyarakat mengenai potensi sumberdaya  hutan  serta cara pengelolaannya.
3.    Sebagai bahan informasi dan data pendukung bagi akademisi untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkup Agraria
Istilah agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti lapangan, pedusunan, atau wilayah. Dalam istilah lain agger yang sinonim dengan istilah sebelumnya agraria mempunyai pengertian sebagai tanggul penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, dan bukit. Jadi pengertian istilah agraria secara etimologis mengandung beberapa makna yang kaitannya tidak hanya sedakar berpatokan dengan tanah.
Kata pedusunan, bukit, atau wilayah, dapat menjelaskan bahwa sumber agraria tidak semata-mata menunjuk pada tanah. Kata-kata tersebut juga menunjukkan makna yang lebih luas karena didalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Suatu bentangan lapangan, pedusunan, atau wilayah pasti terdiri dari berbagai unsur yang meliputi tanah, air, hewan, bahan mineral/tambang, udara, dan lain-lain. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya UUPA 1960 (UU No. 5/1960) yang menjelaskan tentang batasan sumber agraria. Dari UU tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis sumber agraria tidak hanya pada tanah sebagai modal alami utama dalam pertanian dan peternakan, melainkan ada sumber-sumber agraria  yaitu udara, bahan tambang, perairan yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan perikanan dan arena penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan, hutan yang merupakan satu keastuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) diluar kategori tanah pertanian sebagai modal alami dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan (Chalim, 2009).
Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalai institusi penguasaan/pemilikan/pemanfaatan (tenure institutions).
Sitorus (2002) dalam Whennie 2009, membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur agraria yang digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria



 Pola-pola hubungan sosial agraris antara ketiga subyek tersebut sangat ditentukan oleh konteks struktur agraria di suatu negeri. Terdapat tiga tipe ideal struktur agraria  yaitu:
a.       Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan);
b.      Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja; dan
c.       Tipe Populis/Neo-Populis: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna.
Dominasi penguasaan sumber-sumber agraria itu pada satu pihak subyek, yaitu pada swasta (tipe kapitalis), atau rumah tangga komunitas (tipe populis/neo populis), atau pemerintah (tipe sosialis) kemudian memunculkan hubungan-hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu dan lain tipe struktur agraria. Pada tipe kapitalis misalnya, hubungan non-penggarap dengan anggota komunitas menjadi hubungan majikan-buruh. Pada tipe sosialis, hubungan pemerintah dan anggota komunitas menjadi hubungan “ketua-anggota”. Sementara pada tipe populis/neo-populis keluarga-keluarga penguasa/pemanfaat sumberdaya-sumberdaya agraria boleh dikatakan berdaulat (Mustapit, 2011).

2.2 Sumber Daya Manusia
Sedarmayanti dalam Zubaidah (2007),  mengatakan Sumber Daya Manusia merupakan aset utama suatu organisasi yang menjadi perencana dan pelaku aktif dari setiap aktivitas organisasi. Mereka mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status dan latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin yang hetorogen yang dibawa ke dalam suatu organisasi. Sumber daya manusia yang cakap, mampu dan terampil belum menjamin produktifitas kerja yang baik, apabila moral kerja dan kedisiplinannya rendah. Mereka baru bermanfaat bila dapat mendukung terwujudnya organisasi.
Sumber daya manusia  seringkali menjadi pelengkap dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Tenaga kerja, pengetahuan dan keahlian serta ketrampilan teknis manusia banyak digunakan untuk memperoleh manfaat dari penggunaaan sumber daya alam dan lingkungan. Masyarakat modern banyak menanamkan modal untuk memperbaiki kualitas manusia agar dapat menjadi pelengkap atau bahkan menggantikan peranan dari sumber daya alam. Kemampuan masyarakat yang semakin tinggi dalam mempengaruhi ekosistem, mengorganisasikan, merencanakan dan mengambil keputusan baik secara perorangan ataupun secara bersama-sama, maka peranan sumber daya alam sangatlah dominan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia di bumi ini.
Manusia diharapkan dapat mengorganisasikan kekuatannya dan mengendalikan diri terhadap kerakusannya maupun kepentingannya dengan kemampuan yang dimiliki untuk  mengalokasikan secara bijaksana sumber daya alam dan lingkungan yang ada untuk generasi sekarang maupun yang akan dating. Manusia harus dapat memaksimumkan manfaat dalam penggunaan sember daya alam dan lingkungan, dan selalu mencari keseimbangan antara saat ini dan saat yang akan datang (Suparmoko, 2008).

2.3  Sumber Daya Alam
Pada dasarnya sumber daya alam dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan kelompok sumber daya alam yang dapat diperbarui. Professor Barlow mengelompokkan sumber daya alam menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
a.         Sumber daya alam yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui
Sumber daya alam yang tidak dapat pulih atau yang tidak dapat diperbaharui mempunyai sifat bahwa volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali. Untuk terjadinya sumber daya jenis ini diperlukan waktu ribuan tahun. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini dapat digolongkan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1.        Sumber daya seperti batu bara dan mineral yang sifatnya dapat dipakai habis atau berubah secara kimiawi melalui penggunaan.
2.        Sumber daya seperti logam dan batu-batuan yang mempunyai umur pengunaan yang lama dan seringkali dapat dipakai ulang.


b.        Sumber daya alam yang pulih atau yang dapat diperbaharui
Sumber daya alam yang pulih atau yang dapat diperbaharui ini mempunyai sifat terus menerus ada dan dapat diperbaharui oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia. Yang termasuk dalam kelompok sumber daya jenis ini adalah sumber daya air, angin, cuaca, sinar matahari. Aliran sumber daya alam jenis ini entah dipakai atau tidak, terus menerus ada dan dapat diperkirakan.
c.         Sumber daya alam yang mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui.
Sumber daya alam yang ada dalam kelompok ini masih dapat dibedakan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1.        Sumber daya biologis
Beberapa contoh sumber daya biologis adalah hasil panen pertama hutan, margasatwa, padangrumput, perikanan, dan peternakan. Sumber daya alam jenis ini mempunyai ciri seperti sumber daya alam yang dapat diperbaharui karena mereka dapat diperbaiki setiap saat, asal ada perawatan untuk melindunginya dan pemakaiannya sesuai dengan kondisi persediaan mereka. Sumber daya alam ini dapat digolongkan ke dalam sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat mereka menjadi sangat berkurang pertumbuhannya sebagai akibat dari pemakaian yang boros dan kurang bertanggung jawab.
2.        Sumber daya tanah
Sumber daya tanah ini menggambarkan gabungan antara sifat sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui maupun sumber daya biologis. Sebagai contoh adalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah dapat terjadi karena perbuatan akar tanaman dan adanya organisme-organisme yang mengeluarkan bermacam-macam nutrisi tanah untuk diserap oleh tanaman. Keadaan ini merupakan sifat dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, walaupun manusia dapat menggunakan kesuburan tanah tersebut sampai ratusan tahun. Tetapi dapat juga sumber daya tanah itu mempunyai sifat seperti sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yaitu bila petani menggunakan pupuk, tanaman penolong, dan tanaman hijau lainnya. Sedangkan sifat yang menyerupai sumber daya biologis adalah bila sumber daya tanah ini ditingkatkan, atau dipertahankan atau dipakai sehingga bertambah atau berkurang kesuburannya sebagai akibat dari perilaku manusia (Suparmoko, 2008).

2.4  Kelangkaan Sumber Daya Alam
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah ada puasnya. Kebutuhan manusia beraneka ragam dan terus menerus ada. Semakin hari kebutuhan manusia semakin bertambah banyak baik jumlah, mutu, dan coraknya. Pertambahannya itu tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, akan ada sebagian orang yang tidak mendapatkan alat pemuas kebutuhan yang diinginkan, entah karena tidak mampu mengeluarkan pengorbanan yang disyaratkan (biaya tidak terjangkau) atau karena barang sudah habis. Kondisi di atas dapat disebut sebagai kelangkaan. Jadi kelangkaan dapat diartikan situasi atau keadaan di mana jumlah sumber daya yang ada dirasakan kurang atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Menurut ilmu ekonomi, kelangkaan mempunyai dua makna, yaitu:
a.    Terbatas, dalam arti tidak cukup dibandingkan dengan banyaknya kebutuhan manusia
b. Terbatas, dalam arti manusia harus melakukan pengorbanan untuk memperolehnya
Berbicara masalah kelangkaan tidaklah meyakinkan tanpa bukti empiris yang menyertainya. Bukti tersebut biasanya menunjukan indikator seberapa jauh kelangkaan sumber daya alam menghadang laju pertumbuhan ekonomi. Indikator tersebut bisa berupa indikator fisik misalnya konsep cadangan, maupun indikator ekonomi seperti harga, sewa, dan biaya produksi.
1. Harga
Dari semua indikator kelangkaan, nampaknya harga menjadi indikator paling banyak dipakai meskipun belum bisa menggambarkan keseluruhan pengorbanan. Perubahaan kelangkaan terukur melalui harga merupakan konsep ekonomi bukan konsep fisik. Harga sebagai indikator kelangkaan antara lain :
a.    Perubahan kelangkaan yang terukur melalui harga merupakan konsep ekonomi bukan konsep fisik.
b.    Proses pemanfaatan sumber daya alam dan energi diukur kelangkaannya melalui gerakan harga, terutama kaitannya dengan kemungkinan substitusi antar faktor produksi.
c.    Indeks harga sebagai ukuran kelangkaan.
2. Biaya produksi
Biaya produksi sebenarnya hanya merupakan salah satu bagian dari keseluruhan biaya dalam pemanfaatan sumber daya alam dan energi. Untuk melihat kelangkaan dari segi biaya seharusnya dilihat pula bagaimana sewa dan biaya lingkungan. Namun karena sulitnya memperoleh data sewa dan biaya lingkungan, maka biaya produksi sering dipergunakan sebagai indikator produksi.
Teknologi telah pula dipercaya manusia untuk mengatasi persoalan ini. Pada prinsipnya teknologilah yang mendasari setiap usaha untuk menghindari adanya kelangkaan sumber daya alam dan energi. Proses perkembangan teknologi tidak akan pernah berhenti baik secara kebetulan maupun memang dicari karena desakan keadaaan misalnya kelangkaan sumber daya alam dan energi. Kemajuan teknologi dalam bidang geologi, foto udara, survei tanah, survei hutan, survei hidrologi, penginderaan jarak jauh dan lain-lain memungkinkan dapat dijangkaunya lokasi sumber daya alam dan energi. Inovasi teknologi memang sampai saat ini terbukti mampu mengatasi sebagian masalah kelangkaan atau paling tidak menghambat proses percepatan kelangkaan. Selain membantu proses penemuan cadangan baru, teknologi juga mampu membantu proses substitusi dalam produksi.
Saat ini teknologi daur ulang berkembang pesat dalam mengolah sisa-sisa produksi dan konsumsi sehingga tidak terbuang percuma dan mengotori lingkungan. Daur ulang memungkinkan dihematnya penggunaan sumber daya alam dan energi asli sehingga jika sumberdaya alam dan energi asli memang langka, penghematan tersebut sangat diperlukan. Perkembangan substitusi sumberdaya alam dan energi baik dalam produksi maupun konsumsi sangat membantu proses pelambatan kelangkaan. Contoh: perbaikan transportasi umum mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga bisa menghemat energi (Yuna, 2010).

2.5  Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai "bangsa". Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada "Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara" tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Keberagaman sistem-sistem lokal tersebut bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal; 3) Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan ('pemerintahan') adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat (Nababan, 2003).
Macam dan karakterisasi sumberdaya tidak hanya menggambarkan bagaimana pentingnya sumberdaya tersebut tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sebaiknya sumberdaya itu dikelola agar memenuhi kebutuhan ummat manusia tidak hanya masa kini, tapi juga masa yang akan datang. Ada 4 (empat) hal yang perlu dicatat dalam mengelola SDA :
1.        Biaya pengambilan atau penggalian semakin tinggi dengan semakin menipisnya persediaan SDA tersebut.
2.        Kenaikan dalam biaya pengambilan atau penggalian SDA akan diperkecil dengan diketemukannya deposit baru serta adanya teknologi baru.
3.        Sebidang tanah tidak hanya bernilai tinggi karena adanya sumberdaya mineral yang terkandung di dalamnya, tetapi juga karena adanya opportunity cost berupa keindahan alam.
4.        Perlu diingat dan dibedakan antara penggunaan sumberdaya yang bersifat dapat dikembalikan lagi dan penggunaan sumberdaya yang tak dapat dikembalikan ke keadaan semula (irreversible).
Sumberdaya yang menjadi perhatian utama dalam literatur ekonomi lingkungan adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu alokasi yang dinamik dari waktu ke waktu adalah penting untuk menjamin alokasi sumberdaya yang berkelanjutan, diikuti dengan upaya-upaya lain yang bisa menekan kehabisan sumberdaya. Disamping usaha alokasi yang berkelanjutan tersebut, kelangkaan sumberdaya mempunyai peluang untuk diatasi yaitu paling tidak melalui 4 cara yaitu :
1) eksplorasi dan penemuan
2) kemajuan teknologi
3) penggunaan sumberdaya substitusi dan
4) pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycling) (Kukuh, 2010).
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Keragaman masyarakat, kondisi geografis serta melalui proses panjang pengalaman empirik telah mendorong masyarakat membangun cara dan aturan (adat) yang khas khususnya dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut juga menunjukkan hubungan yang khas antara masyarakat dan alam lingkungannya baik secara jasmani maupun rohani.
Keselarasan atau harmoni hubungan manusia dan alam lingkungan menjadi kunci dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Secara tradisional hubungan tersebut meliputi multi aspek: sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi. Hal tersebut tercermin dari cara dan aturan yang terbangun dalam pengelolaan hutan. Aspek sosial dan ekonomi lebih banyak diperlihatkan melalui struktur dan lembaga pengelolaan hutan, sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan dan hutan. Sedangkan aspek ekologis dapat dilihat melalui aturan adat atau hukum adat dalam pengelolaan maupun pemanfaatan sumber daya hutan serta pembagian kawasan menurut fungsinya (Indradi, 2009).
Seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam 3 (tiga) fungsi pokok yaitu konservasi, lindung dan produksi, sehingga wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan (KPH) dapat terdiri dari salah satu atau lebih dari satu fungsi pokok tersebut. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan adalah serangkaian proses perencanaan atau penyusunan desain kawasan hutan yang didasarkan atas fungsi pokok dan peruntukannya yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Tujuan pembentukan kesatuan pengelolaan hutan adalah untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan apabila  seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dimana KPH menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten atau kota.
Wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKm), Kesatuan Pengelolaan Adat (KPHA) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Daerah Aliran Sungai (KPDAS). Satu KPH dapat terdiri dari lebih dari satu fungsi pokok apabila terdapat kawasan hutan dengan fungsi pokok tertentu yang tidak layak dijadikan 1 (satu) unit KPH maka digabung dengan unit KPH yang terdekat. Berdasarkan fungsi pokoknya, maka seluruh kawasan hutan akan terbagi habis ke dalam 3 (tiga) bentuk unit KPH yaitu KPHK, KPHL dan KPHP (BPKH, 2010).

2.6  Eksternalitas
Eksternalitas merupakan suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Menurut pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects. Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara (Cholse, 2009).
Adapun jenis-jenis eksternalitas antara lain:
1.Eksternalitas Produsen-produsen
Seorang produsen dapat menimbulkan eksternalitas pasitif ataupun aksternalitas negatif terhadap produsen lainnya. Contoh eksternalitas positif misalnya adalah tindakan seorang produsen contoh: (1) melatih tenaga kerjanya. (2) menerima eksternalitas positif karena bisa memperoleh tenaga kerja terdidik tanpa harus memberikan pendidikan pada tenaga kerja tersebut. Dalam hal ini,eksternalitas positif yang ditimbulkan karena penggunan faktor produksi. Produsen A dan B dalam aktifitas mereka menggunakan faktor faktor produksi, misalnya saja modal (K) dan tenaga kerja (L).



2.Eksternalitas Produsen-Konsumen
Aktivitas seseorang produsen dapat pula menimbulakan efek terhadap utilitas individu tanpa mendapat suatu kompensasi apapun juga. Misalkan saja suatu pabrik yang mengeluarkan asap yang menyebabkan polusi udara. Udara kotor tersebut terpaksa dihirup oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik sehingga menyebabkan utilitas mereka untuk tinggal disekitar pabrik turun. Dalam hal ini pabrik tidak memberikan ganti rugi dalam bentuk apapun juga kepada masyarakat  dan pabrik tersebut akan meningkatkan tingkat produksi di mana harga barang produksi sama dengan biaya marjinal.
3.Eksternalitas Konsuman-Produsen
Misalnya, seorang setiap hari makan nasi dan sisanya di buang ke dalam sungai aliran sungai tersebut masuk kedalam kolam sehingga ikan dalam kolam tersebut menjadi cepat besar tanpa pemilik kolam tersebut memberi makan lagi kepada ikan ikannya. Berdasarkan hal tersebut maka pemilik kolam yang menghasilkan ikan menerima manfaat eksternalitas positif dari tindakan konsumen yang makan nasi tersebut.
4.Eksternalitas Konsumen-Konsumen
Aktifitas seseorang dapat secara langsung mempengaruhi tingkat kepuasan/utilitas orang lain tanpa ada suatu kompensasi (dalam hal eksternalitas positif) atau biaya (dalam hal eksternalitas negatif) apapun juga. Eksternaltas konsumen-konsumen ini tidak banyak mendapat perhatian para ahli ekonomi lingkungan karena tidak ada pengaruh yang nyata dalam perekonomian. Eksternalitas konsumen konsumen dapat di bedakan dampaknya antara dampak fisik dan kejiwaan (psychic). Misalnya seorang pengendara sepeda montor yang mengeluarkan asap tebal dan menyebabkan orang orang disekitar menjadi sesak napas dampak inilah yang disebut dampak fisik. Dampak kejiwaan menyangkut masalah perasaaan. Misalnya seorang yang merasa tidak senang atau iri karena melihat tetangganya mempunyai mobil mewah rasa kejiwaan adalah rasa tidak langsung mempengaruhi keadaan seseorang kerena aktivitas konsumsi orang lain (Kurniawanceis, 2010).

2.7  Sumber Daya Hutan
Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu. Hutan merupakan sumber daya biologis yang terpenting di atas bumi dengan sifat-sifat sebagai berikut:
a.         Hutan merupakan tipe tumbuhan yang terluas didtribusinya dan mempunyai produktivitas biologis yang tertinggi dengan luas areal sekitar 22% dari luas daratan di bola bumi ini, walaupun ada kecenderungan untuk semakin berkurang.
b.        Hutan mencakup kehidupan seperti tumbuhan dan hewan, serta bukan kehidupan seperti sinar, air, panas, tanah dan sebagainya yang bersama-sama membentuk struktur biologis dan fungsi kehidupan.
c.         Regenerasi hutan sangat cepat dan kuat dibanding dengan sumber daya alam lainnya. Permudaan hutan dapat secara alami maupun dengan campur tangan manusia.
d.        Hutan di samping menyediakan bahan mentah bagi industri dan bangunan, juga melindungi dan memperbaiki kondisi lingkungan dan ekologi.
Sifat hutan tersebut cukup unik bila dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya, sebab selain sebagai sumber produksi kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi, yaitu:
a.         Menyediakan hasil hutan (kayu dan nonkayu) untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industry dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya.
b.        Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah.
c.         Melindungi suasana iklim dan member daya pengaruh yang baik, seperti udara bersih dan segar.
d.        Memberikan keindahan alam pada umunya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan dan taman wisata, serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata.
Berdasarkan fungsinya, hutan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, antara lain:
a.         Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana banjir dan erosi, serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah.
b.        Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umunya dan khususnya untuk pembangunan, industry dan ekspor. Hutan produksi dapat dibagi menjadi hutan produksi penebangan terbatas dan hutan produksi penebangan bebas.
c.         Hutan suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati lainnya.
d.        Hutan wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau perburuan.
Penggunaan hutan untuk produksi kayu cukup penting bagi pertumbuhan industri dan sebagai penghasil devisa bagi negara. Agar pengelolaan sumber daya hutan dapat dilaksanakan secara maksimal dengan berlandaskan asas kelestarian, maka hutan seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kepada pihak swasta diberikan hak pengusahaan hutan (HPH) dengan pengertian bahwa pemegang HPH tersebut berkewajiban menjaga fungsi hutan dan melindunginya. Prinsip yang dipegang dalam mengeksploitasi hutan adalah menggunakan biaya yang seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang tertentu tanpa merusak kelestariannya (Suparmoko, 2008).

2.8  Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada tipologinya, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan.
Lembaga adalah wadah dimana sekumpulan orang berinisiatif untuk memenuhi kebutuhan bersama, dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pihak yang terlibat dalam proses pengembangan lembaga masyarakat desa hutan ini adalah: seluruh anggota dan pengurus dari LMDH, pemerintah daerah (desa sampai kabupaten), pihak yang terkait sesuai dengan kebutuhan (dinas/instansi terkait), pihak yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan lembaga (investor, perguruan tinggi, LSM), dan fasilitator yang dapat dipilih dari masyarakat sendiri atau pihak luar (Awang, 2008).

BAB 3. HASIL PRAKTEK LAPANG

3.1 Lingkup Agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mitra Usaha yang terletak di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan merupakan salah satu lembaga yang mengelola hutan di wilayah tersebut. Potensi hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan sangat besar sehingga pemerintah bekerja sama dengan LMDH Mitra Usaha untuk mengelola potensi hutan tersebut bersama masyarakat. Terdapat beberapa subyek agraria yang mengelola potensi hutan di wilayah tersebut, antara lain pemerintah, swasta dan komunitas. Pemerintah merupakan pemilik sekaligus pengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut. Peran pemerintah dilakukan oleh pihak Perhutani, sedangkan pihak swasta adalah mitra kerja yang bekerja sama dengan LMDH Mitra Usaha dan Perhutani dalam mengelola sumber daya hutan tersebut, dan komunitas yaitu LMDH Mitra Usaha sebagai pengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan, dimana LMDH memiliki beberapa kelompok pekerja yang beranggotakan masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Pengelolaan sumber daya hutan oleh LMDH Mitra Usaha dilakukan dengan pembagian lahan kepada kepala keluarga atau masyarakat setempat seluas 25 m x 100 m. Pembagian lahan tersebut menunjukkan bahwa jenis agraria yang diterapkan pada LMDH Mitra Usaha adalah tipe populis, yaitu dikuasai atau dikelola oleh masing-masing rumah tangga komunitas. Pembagian lahan tersebut merupakan salah satu hubungan teknis yang terjadi antara pihak LMDH dan masyarakat setempat sebagai anggotanya. Lahan-lahan tersebut akan diberi petok atau tanda yang menunjukkan batas lahan antara pemilik satu dan lainnya. Petok tersebut berupa batu-batu yang disusun sedemikian rupa di tepi sudut lahan, sehingga antara satu pemilik lahan dan lainnya tidak akan berebut lahan karena sudah terdapat pembagian lahan secara jelas. Bukti hubungan teknis lainnya antara LMDH dan Perhutani ataupun LMDH dengan pihak swasta didasarkan pada surat perjanjian kerja sama dimana tercantum jelas pembagian sharing keuntungan dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut.
Hubungan teknis yang berlangsung pada subjek-subjek agraria di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan berlangsung baik dimana akhirnya mempengaruhi hubungan sosial yang terjadi pada subjek-subjek agraria tersebut. Hubungan sosial subjek agraria di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan pada dasarnya baik. Hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan Perhutani  yaitu sebagai mitra kerja sangatlah baik karena terdapat dalam surat perjanjian kerja sama yang telah disepakati bersama, sehingga tidak pernah terdapat konflik antara LMDH Mitra Usaha dengan pihak Perhutani. Sedangkan hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan pihak swasta juga sangat baik dimana LMDH Mitra Usaha juga memiliki surat perjanjian kerja sama dengan pihak swasta yang bekerja sama dalam mengelola hutan sehingga tidak pernah terjadi konflik antara kedua subjek agraria tersebut. Selanjutnya, hubungan sosial LMDH Mitra Usaha dengan masyarakat setempat sebagai anggota dari LMDH Mitra Usaha tersebut juga sangat baik. Hal tersebut dikarenakan terdapat aturan-aturan yang jelas dalam tubuh LMDH Mitra Usaha yang tercantum dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD-ART) LMDH Mitra Usaha di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, sehingga dapat  menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. selain itu subyek agraria berhubungan atau berinteraksi satu sama lain secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan.
Berdasarkan hubungan sosial dan hubungan teknis dalam mengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut, maka dapat digambarkan struktur agrarian sebagai berikut:



Gambar di atas menunjukkan bahwa LMDH Mitra Usaha memiliki hubungan sosial dengan pihak Perhutani dan pihak swasta dalam mengelola sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Sedangkan pihak swasta memiliki hubungan sosial dengan pihak Perhutani dan LMDH Mitra Usaha, dan pihak Perhutani memiliki hubungan sosial dengan pihak swasta dan LMDH Mitra Usaha. Selain hubungan sosial tersebut, LMDH Mitra Usaha memiliki hubungan teknis dengan sumber daya hutan yang dikelola. Begitu pula dengan pihak Perhutani ataupun pihak swasta, mereka juga memiliki hubungan teknis dengan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Hubungan teknis dan hubungan sosial yang berlangsung di antara masing-masing subjek agraria tersebut berlangsung baik sehingga tidak pernah terdapat konflik. Hal tersebut didukung dengan adanya surat perjanjian kerja sama dan aturan-aturan yang terdapat di tubuh LMDH Mitra Usaha sebagai pihak yang kami teliti. LMDH Mitra Usaha memiliki aturan yang wajib ditaati oleh seluruh anggotanya.
Adapun beberapa kewajiban yang harus ditaati oleh anggota LMDH Mitra Usaha adalah:
1.        Membantu mensukseskan pelaksanaan program lembaga.
2.        Membayar iuran anggota
Iuran pangkal anggota yaitu sebesar Rp 25.000,00 sedangkan iuran anggota LMDH Mitra Usaha yaitu Rp 50.000,00 per tahun. Selain itu, aturan yang terdapat dalam LMDH Mitra Usaha adalah pembayaran modal dasar Rp 80.000,00 ketika masyarakat atau anggota LMDH Mitra Usaha mendapat pembagian lahan untuk satu periode yang mana satu periode tersebut adalah 3 tahun. Ketentuan atau aturan-aturan tersebut telah disepakati bersama oleh masyarakat yang ingin menjadi anggota LMDH Mitra Usaha. Aliran manfaat untuk pengelolaan hutan yang menjadi milik masyarakat atau kepala keluarga murni menjadi milik keluarga tersebut, sedangkan aliran manfaat yang berasal dari iuran anggota ataupun iuran pangkal anggota digunakan untuk:
Tabel 3.1 Distribusi Aliran Manfaat Iuran Anggota/Iuran Pangkal Anggota
No
Penerima
Prosentase
1
Pemerintah desa (disetor ke kas desa)
5%
2
LSM Pendamping
10%
3
BOP LMDH
20%
4
Dana sosial
10%
5
Beasiswa
5%
6
Anggota
10%
7
Pengurus
20%
8
Pengurus setelah purna tugas
10%
9
Kebutuhan sarana prasarana
10%
Sumber :
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa distribusi terbanyak diberikan untuk BOP LMDH dan pengurus LMDH Mitra Usaha. Distribusi aliran manfaat tersebut oleh masyarakat anggota LMDH Mitra Usaha dikatakan sudah adil. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan lahan yang diberikan pihak LMDH Mitra Usaha kepada masyarakat dikelola oleh masing-masing keluarga sehingga seluruh keuntungan pengelolaan tersebut menjadi milik anggota kelurga tersebut. Sedangkan untuk distribusi aliran manfaat yang berasal dari iuran anggota dan iuran pangkal anggota telah sesuai dengan AD-ART LMDH Mitra Usaha yang tentunya telah disepakai bersama oleh anggota lembaga tersebut.
3.2 Kondisi SDM di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Wilayah tersebut hanya memiliki satu suku atau etnis mayoritas yaitu suku Jawa yang mayoritas masyarakatnya adalah pendatang. Sumber daya manusia di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan berasal dari berbagai wilayah yaitu Kediri, Bojonegoro, Trenggalek dan wilayah lainnya. Kedatangan mereka dikarenakan adanya asumsi bahwa wilayah Jember adalah wilayah yang terkenal subur, sehingga mereka pun berdatangan ke Kabupaten Jember, khususnya Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
Struktur sosial masyarakat di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yaitu terdapat tokoh agama atau ulama, tokoh masyarakat, dan tokoh politik. Tokoh masyarakat di wilayah ini adalah seseorang yang purna tugas sebagai pendidik dan dihormati oleh sebagian besar masyarakat di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Sedangkan tokoh ulama atau agama adalah seorang kiai, dan tokoh politik adalah seseorang yang bergerak di bidang politik sehingga dihormati oleh masyarakat setempat.
Pengelolaan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan dipegang oleh pihak Perhutani, pihak swasta dan LMDH Mitra Usaha yang didalamnya terdapat masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan sebagai anggotanya. Bentuk kerja sama antara pihak swasta dengan LMDH Mitra Usaha yakni apabila pihak swasta memiliki proyek seperti penanaman sengon dan tanaman jarak, pihak swasta tersebut akan bekerja sama dengan LMDH Mitra Usaha yang kemudian LMDH Mitra Usaha melibatkan tenaga-tenaga kerja yang tergabung dalam kelompok tenaga kerja dalam struktur organisasi lembaga. Sedangkan bentuk kerja sama antara Perhutani dengan LMDH Mitra Usaha yakni berupa fasilitas berdirinya lembaga hingga ke notaris. Namun, Perhutani tidak memberikan bantuan secara nominal.
Peran masyarakat sekitar dalam pengelolaan sumber hutan sangatlah baik, dimana pengelolaan sumber daya hutan tersebut murni dilakukan oleh masyarakat setempat. Pembagian lahan yang jelas terhadap masing-masing anggota LMDH Mitra Usaha dan pemberian hak penuh terhadap pengelolaan lahan tersebut merupakan salah satu metode yang baik untuk mengurangi pengelolaan sumber daya hutan yang negatif. Hal itu dikarenakan pengelolaan sumber daya hutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara semua pengelola sumber daya hutan, sehingga hal-hal negatif seperti eksplotasi sumber daya hutan, pencurian hasil hutan dan lainnya dapat diminimalisir. Apabila terdapat penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut, belum ada hukuman yang jelas secara lembaga, hanya terdapat hukuman moral yang diberikan oleh masyarakat lainnya di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tersebut. Hukuman moral berupa bahan gunjingan antar masyarakat setempat. Namun, apabila anggota LMDH Mitra Usaha berprestasi terhadap pengelolaan hutan, seperti memiliki produksi yang baik akan mendapat penghargaan berupa penambahan lahan oleh pihak LMDH Mitra Usaha terhadap masyarakat tersebut.




























Berdasarkan gambar struktur LMDH Mitra Usaha di atas, masing-masing pengurus dan seksi-seksi dalam struktur LMDH Mitra Usaha tersebut memiliki tugasnya masing-masing. Berdasarkan AD-ART LMDH Mitra Usaha, beberapa tugas pengurus LMDH Mitra Usaha sebagai berikut:

1.    Tugas Ketua
a.         Memimpin pertemuan atau rapat
b.        Membagi tugas
c.         Mewakili kelompok
d.        Membimbing anggota
e.         Memelihara kerja sama
f.         Mempertanggungjawabkan laporan kegiatan pada pertemuan anggota
g.        Bertanggung jawab mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan eksternal dan internal lembaga
2.    Tugas Ketua 1
a.         Membantu melaksanakan tugas-tugas ketua
b.        Bertanggung jawab mengurusi urusan yang berkaitan dengan internal lembaga
c.         Melaksanakan tugas ketua apabila yang bersangkutan berhalangan hadir dalam satu rapat atau pertemuan
3.    Tugas Sekretaris
a.         Membuat catatan daftar anggota
b.        Mengadakan buku anggota dan atau kartu anggota
c.         Inventarisasi harta lembaga
d.        Bertanggung jawab terhadap secretariat lembaga
e.         Mengerjakan surat menyurat
f.         Menyusun laporan kegiatan
g.        Melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua
4.    Tugas Bendahara
a.         Bersama ketua dan sekretaris membuat kebutuhan keuangan dan atau menyusun anggaran pendapatan dan belanja lembaga
b.        Mencatat dan menerima simpanan anggota
c.         Mencatat kebutuhan sarana dan prasarana produksi lembaga
d.        Menyusun laporan keuangan lembaga

e.         Bendahara bertanggungjawab pada seluruh pemasukan dan pengeluaran keuangan lembaga
f.         Melakukan tugas yang diberikan oleh ketua
5.    Tugas Seksi-seksi
a.         Seksi perencanaan, bertanggung jawab dalam perencanaan kegiatan lembaga dimulai dari observasi potensi tanah yang tersedia, perencanaan bibit tanaman, perencanaan perolehan hasil dan perencanaan pemasaran.
b.        Seksi sarana dan prasarana, bertanggung jwab terhadap penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan lembaga baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
c.         Seksi keamanan hutan, bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan dan keamanan hutan maupun tanaman yang diusahakan oleh lembaga dari segala macam bentuk gangguan antara lain penjarahan, pencurian, penebangan liar maupun gangguan lain yang dapat mengancam kelestarian dan keamanan hutan.
d.        Seksi humas, berkoordinasi dengan masyarakat dan sebagai fasilitator lembaga.
Seksi-seksi yang terdapat dalam struktur LMDH Mitra Usaha memiliki kelompok pekerja (Pokja) yang masing-masing memiliki anggota. Adapun syarat untuk menjadi anggota LMDH Mitra Usaha adalah haruslah masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan dengan bukti KTP Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan dan berdomisili di Desa Lojejer sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun berturut-turut.

3.3 Kondisi SDA di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan
Kondisi sumber daya hutan pada LMDH Mitra Usaha di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan tergolong baik dimana memiliki lahan yang cukup subur dan berbagai varietas tanaman. Pengelolaan sumber daya hutan di wilayah ini diserahkan sepeuhnya kepada masyarakat setempat. Masyarakat memfungsikan lahan hutan tersebut untuk budidaya palawija, selain satu tanaman pokok yang wajib ditanam dari Perhutani yaitu tanaman jati. Pengelolaan sumber daya hutan tersebut pasti menimbulkan dampak bagi masyarakat ataupun lingkungan sekitar wilayah hutan. Dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat setempat adalah dampak positif dimana pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Selain itu, dampak lainnya adalah masyarakat anggota LMDH Mitra Usaha merasa terwadahi dengan adanya lembaga tersebut dalam hal pengelolaan sumber daya hutan di wilayah tersebut. Sedangkan dampak terhadap lingkungan yaitu sebagai daerah resapan air hujan sehingga tidak sampai menimbulkan bencana banjir.
Wilayah ini merupakan wilayah subur dimana berbagai macam tanaman dapat tumbuh dan termasuk wilayah yang aman. Aman disini dapat diartikan bahwa ketika musim penghujan turun, tidak sampai menimbulkan banjir dan ketika musin kemarau datang, tidak sampai menimbulkan kekeringan pada beberapa mata air. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan tidak pernah terjadi kelangkaan di wilayah hutan Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan ini. Namun, hal tersebut tidak membuat pengelolaan hutan di wilayah ini tanpa kendala atau penyimpangan. Terdapat beberapa kendala ataupun penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Kendala tersebut adalah adanya orang ketiga dalam pencurian kayu yang terorganisir. Orang ketiga tersebut adalah mandor yang bekerja di Perhutani. Sedangkan penyimpangan dilakukan oleh pihak masyarakat yang memfungsikan jalur lintas selatan yang masih terbengkalai. Jalur lintas selatan tersebut difungsikan oleh masyarakat untuk berbudidaya tanaman-tanaman palawija padahal lahan tersebut bukanlah lahan milik mereka melainkan lahan milik pihak swasta yang memiliki proyek pembuatan jalur lintas selatan tersebut. Adanya kendala oleh pihak internal Perhutani diatasi dengan pemberian sanksi oleh pihak internal Perhutani itu sendiri, sedangkan untuk penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat diatasi dengan pemberian sanksi moral berupa teguran ataupun gunjingan oleh masyarakat lainnya.

Terdapat nilai budaya dalam pengelolaan sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan, yaitu adanya tasyakuran pada saat masyarakat anggota LMDH Mitra Usaha akan membuka lahan untuk berbudidaya. Selain itu, pengelolaan sumber daya hutan pada LMDH Mitra Usaha ini dilakukan dengan cara pengundian bagi kepala keluarga yang belum pernah mendapatkan lahan. Lahan yang telah dimiliki tidak boleh dipindahtangankan. Apabila pemilik lahan meninggal maka lahan tersebut menjadi milik ahli waris. Pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungan yang ideal menurut pihak LMDH Mitra Usaha adalah dengan adanya kerja sama dengan Perhutani mengenai pembangunan dam atau bendungan yang digunakan untuk salah satu cara penahan banjir ataupun pengorganisiran sumber daya air guna meningkatkan produksi sumber daya hutan di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.
  
BAB 4. PENUTUP

4.1 Simpulan
1.        Lingkup agraria di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan meliputi subjek, objek dan hubungan agraria tersebut. Subjek agraria meliputi pihak pemerintah yaitu Perhutani, pihak komunitas yaitu LMDH Mitra Usaha, dan pihak swasta. Sedangan objek agraria pada LMDH Mitra Usaha adalah sumber daya hutan dan hubungan agraria yang terjadi adalah hubungan teknis dan hubungan sosial. Jenis agraria pada LMDH Mitra Usaha adalah tipe populis.
2.        Kondisi SDM di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yang mengelola sumber daya hutan berasal dari masyarakat Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan. Pengelolaan hutan murni dilakukan oleh masyarakat dan masih terdapat nilai budaya dalam hal pembukaan lahan sebelum budidaya. SDM di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan merupakan pengurus LMDH Mitra Usaha.
3.        Kondisi SDA di LMDH Mitra Usaha Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan yakni sumber daya hutan oleh masyarakat ditanami dengan tanaman palawija dan satu tanaman wajib oleh Perhutani yaitu tanaman jati. Kendala pengelolaan dilakukan oleh pihak internal Perhutani dan diberikan sanksi internal lembaga, sedangkan penyimpangan dilakukan oleh masyarakat dan diberikan sanksi moral berupa gunjingan oleh masyarakat setempat.

4.2  Saran
1.        Model pengelolaan sumberdaya agraria hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan merupakan suatu cara yang efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta menjaga kelestarian sumberdaya hutan sehingga model pengelolaan ini harus dipertahankan dan menjadi program pokok pemerintah untuk jangka panjang.


2.        Untuk mengatasi penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pihak perhutani maka perlu adanya hukuman yang jelas yang dibuat oleh LMDH maupun Perhutani sehingga dengan adanya hukuman yang jelas tersebut akan membuat masyarakat dan pihak Perhutani tidak berani mengulanginya

DAFTAR PUSTAKA

Awang, dkk. 2008. Panduan Pengelolaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Akses Online.  Sumber: http://www.cifor.cgiar.org/lpf/docs/Panduan%20Pemberdayaan%20LMDH.pdf [10 Mei 2011].

BPKH. 2010. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Unit Pengelolaan (KPH). [serial online]. http://bpkh1.com/pembentukan-wilayah-pengelolaan-hutan-tingkat-unit-pengelolaan-kph. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.

Chalim. 2009. Kajian Agraria. [serial online]. http://dewichalim.wordpress.com/2009/09/10/kajian-agraria/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Cholse, Julian. 2009. Eksternalitas dan Macam-macam Barang. [serial online]. http://www.juliancholse.co.cc/2009/11/eksternalitas-dan-macam-macam-barang.html. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Indradi, Yuyun. 2009. Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. [serial online]. http://fwi.or.id/?p=56. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.

Kukuh. 2010. Daya Dukung Lingkungan terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam. [serial online]. http://iambigsmart.wordpress.com/2010/10/22/daya-dukung-lingkungan-terhadap-pengelolaan-sumber-daya-alam/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Kurniawanceis. 2010. Eksternalitas. [serial online]. http://kurniawanceis.wordpress.com/2010/06/27/eksternalitas/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Mustapit. 2011. Manajemen Sumberdaya (Perspektif Agraria): Modul Bahan Ajar. Jember: Universitas Jember (tidak dipublikasikan).

Nababan, Abdon. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan Dan Peluang. [serial online]. http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_psda_berb_ma_di_pplh_ipb.html. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Subadi. 2010. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan.  Jakarta: Prestasi Pustaka.

Suparmoko. 2008. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta: BPFE.

Whennie, Sasfira. 2009. Perubahan Struktur Agraria di Wilayah Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: Desa Cibahayu Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya). [serial online]. http://kolokiumkpmipb.wordpress.com/2009/04/06/perubahan-struktur-agraria-di-wilayah-daerah-aliran-sungai-studi-kasus-desa-cibahayu-kecamatan-kadipaten-kabupaten-tasikmalaya/. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2011.

Yuna, Gita. 2010. Kelangkaan Sumber Daya Alam. [serial online]. http://gietayonghwa.wordpress.com/2010/10/14/kelangkaan-sumber-daya-alam/. Diakses pada Tanggal 11 Mei 2011.

Zubaidah. 2007. Hubungan Faktor-Faktor Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Petugas Pokja Dbd Tingkat Kelurahan Di Kota Tasikmalaya. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat . Semarang: Universitas Diponegoro. Akses online : http://eprints.undip.ac.id/17714/1/Ida_Siti_Zubaedah.pdf [12 Mei 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar